Belajar Memahami Cuaca

Tuesday, September 05, 2006

HUJAN BUATAN DI MUSIM HUJAN, mengapa tidak?



Pendahuluan

Dalam sebuah rapat penentuan waktu pelaksanaan operasi hujan buatan, atau dalam istilah sekarang disebut TMC (teknologi modifikasi cuaca), seorang ahli meteorologi mempertanyakan: buat apa dilakukan hujan buatan kalau sudah memasuki musim hujan? Pertanyaan yang logis jika ditinjau dari pandangan yang awam dengan hujan buatan. Memang sampai saat ini masih banyak yang beranggapan bahwa hujan buatan merupakan solusi kekeringan yang bekerja bagaikan pemadam kebakaran. Padahal teknologi modifikasi cuaca ini tidak bekerja dengan prinsip seperti itu. Hujan buatan yang lebih merupakan peningkatan curah hujan bekerja dengan syarat utama keberadaan awan. Tanpa adanya awan maka tidaklah mungkin menerapkan teknologi ini, dengan metode apapun.

Hingga saat ini para pengguna jasa hujan buatan juga masih gamang dengan pertanyaan ini. Apa kata masyarakat yang semakin kritis (melalui ormas-ormas dan lembaga struktural seperti DPRD) jika hujan buatan dilaksanakan pada musim hujan. Bukankah hanya menghambur-hamburkan anggaran? Berikut ini diuraikan untung ruginya hujan buatan dilaksanakan pada musim hujan.

Kondisi cuaca pada musim hujan

Berbeda dengan masa transisi dimana keberadaan awan kadang ada kadang tidak, bahkan jika salah memprediksi maka sangat mungkin tidak terdapat awan sama sekali, pada musim hujan hampir dapat dipastikan terdapat awan meskipun dengan jenis yang berbeda-beda. Secara umum, terdapat 2 jenis awan hujan yaitu: awan konvektif dan awan stratiform. Awan konvektif merupakan awan yang paling baik untuk diberi perlakuan (disemai). Awan ini tumbuh berdasarkan proses konveksi, yaitu pengangkatan massa udara akibat pemanasan permukaan bumi. Selain sifatnya yang selalu bergolak sehingga bahan semai bisa terdistribusi dengan baik, awan konvektif biasanya mempunyai masa hidup (life cycle) yang pendek (siang hingga sore/malam hari) sehingga tidak menimbulkan cuaca buruk sepanjang hari yang mengakibatkan tidak diperbolehkannya operasi penerbangan berdasarkan aturan penerbangan sipil. Meskipun berumur pendek, awan ini mengandung uap air yang sangat banyak sehingga intensitas hujan yang dihasilkan sangat besar. Pada musim transisi, keawanan didominasi oleh jenis awan ini. Sedangkan awan stratiform adalah jenis awan yang kurang baik untuk disemai. Awan ini tidak mempunyai golakan sekuat awan konvektif. Meskipun masa hidupnya lebih lama (pagi hingga dini hari) intensitas hujan yang diakibatkan lebih rendah daripada intensitas hujan oleh awan konvektif. Awan stratiform banyak dijumpai pada musim hujan.

Meskipun keberadaan awan stratiform lebih dominan selama musim hujan (Takayabu, 2002), akan tetapi gabungan awan konvektif dan stratiform (mixed of convective-stratiform (William, 1995)) juga banyak dijumpai. Jenis awan ini juga layak untuk disemai, meskipun harus dengan teknik-teknik tersendiri.


Hujan buatan di musim hujan

Jelas bahwa ada kendala dilaksanakannya hujan buatan di musim hujan. Kendala itu adalah keberadaan awan stratiform yang kurang baik untuk disemai. Kendala ini peluangnya sama dengan tidak adanya awan pada masa transisi. Dengan demikian, secara umum pelaksanaan hujan buatan lebih lebih baik dilaksanakan pada musim hujan daripada pada masa transisi. Sekali lagi ini secara umum. Dalam pelaksanaannya, tim hujan buatan biasanya mencari waktu operasi hujan buatan yang paling tepat sehingga peluang keberadaan awan konvektif paling besar. Dengan ketepatan prediksi 99% maka masa transisi adalah waktu yang paling baik untuk operasi hujan buatan. Namun pada kenyataannya ketepatan prediksi daerah tropis seperti Indonesia hanya berkisar 60%.

Hujan Buatan Di Riam Kanan, Berpengaruh Di Luar Kalsel?


Artikel ini juga bisa dibaca di:
http://www.indomedia.com/bpost/012005/26/opini/opini2.htm

Menarik sekali membaca karikatur BPost 13 Januari 2005, yang menggambarkan kekhawatiran banjir di wilayah Kalimantan Tengah karena pengaruh operasi hujan buatan --nama yang dipakai saat ini adalah Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC)— yang sedang dilaksanakan di Kalimantan Selatan.

TMC untuk menambah curah hujan di daerah tangkapan waduk PM Noor yang dilaksanakan sejak 10 Januari lalu itu, memang menjadi pertanyaan banyak warga Kalimantan. Mengapa musim hujan masih juga membuat hujan, apakah hujan buatan tidak mengakibatkan banjir di wilayah lain di Kalimantan, dan lain-lain. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan jawaban secara ilmiah populer terhadap pertanyaan dan kekhawatiran masyarakat Kalimantan.

Teknologi yang digunakan dalam operasi TMC adalah penyemaian awan yang potensial menghasilkan curah hujan berintensitas cukup tinggi. Awan ini disebut dengan awan kumulus. Jadi yang menjadi syarat mutlak penerapan teknologi ini adalah keberadaan awan kumulus. Awan kumulus yang diberi perlakuan (atau disemai dengan bahan semai NaCl) adalah yang berada di daerah target dan di daerah di mana awan itu pada saat menjadi hujan bisa masuk daerah target akibat terbawa angin setelah disemai. Oleh karena itu, penentuan posisi awan yang disemai menjadi sangat penting.

Beberapa peralatan digunakan untuk menentukan posisi awan yang akan disemai. Peneliti (flight scientist) yang memandu pesawat penyemai, dibekali peta batas wilayah daerah tangkapan yang disesuaikan dengan instrumentasi penentuan posisi yang terdapat di pesawat penyemai (CN-212 buatan IPTN Bandung). Selain itu flight scientist membekali diri dengan alat penentu posisi yang lain, disebut dengan GPS (global positioning system). Selain menentukan posisi penyemaian, alat ini bisa mendeteksi arah dan kecepatan angin. Perlengkapan yang dipakai dalam operasi TMC bisa memastikan posisi awan yang di semai tidak salah.

Selain peralatan canggih yang dipakai flight scientist, pengukuran parameter cuaca permukaan dan angin atas dilakukan di lima pos meteorologi (posmet), yaitu: Ulin, Belangian, Awang Bangkal, Benua Riam dan Rantau Bujur. Kelima posmet ini secara terus menerus memantau kondisi cuaca untuk dilaporkan ke posko hujan buatan di bandara. Sistem yang dirancang sedemikian ketat ini menambah keyakinan, tidak akan terjadi salah posisi penyemaian awan.

Barangkali yang masih menjadi pertanyaan adalah: bagaimana jika awan yang disemai ternyata tidak segera menjadi hujan, sehingga pada saat menjadi hujan sudah berada di luar daerah target? Secara saintifik, hal ini memang dimungkinkan. Ketika awan yang belum cukup matang disemai atau proses pertumbuhan awan itu sendiri yang lambat, sementara itu bisa saja kecepatan angin bertambah kencang, maka ada kemungkian awan yang disemai akan jatuh menjadi hujan di luar daerah target. Kemudian, jika hal ini terjadi, bagaimana pengaruhnya terhadap daerah Kalimantan yang lain?

Daerah target operasi TMC kali ini adalah PLTA Riam Kanan yang berada di bagian paling tenggara dari Pulau Kalimantan. Sementara itu, pada bulan-bulan ini angin berhembus dari arah barat. Dengan memperhatikan faktor angin, maka awan-awan yang disemai adalah awan kumulus yang berada di daerah target dan di sebelah baratnya. Seandainya terjadi kemugkinan seperti yang disebutkan di atas, maka awan yang disemai akan jatuh di sebelah timur daerah target yang merupakan wilayah pegunungan Batuhampakan dan atau Mugguanau.

Dari uraian di atas, jelaslah, keraguan masyarakat akan terjadinya banjir di bagian Kalimantan yang lain terutama di Kalteng, tidak perlu menjadi kekhawatiran.

Teknologi Modifikasi Cuaca di Indonesia



Apa itu Teknologi Modifikasi Cuaca?

Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) adalah upaya manusia untuk memberikan perlakuan terhadap atmosfer agar mekanisme yang terkait dengan cuaca bisa lebih bersahabat/memihak pada keperluan manusia demi meningkatnya derajat kemanusiaan.

untuk sementara ini dulu yah... lain kali akan saya tambah lagi

Musim Hujan Tidak Selalu Hujan, musim kemarau bisa juga turun hujan



kata kuncinya: Osilasi Madden Julian

Kalau kita mau lebih detail meneliti curah hujan musiman, maka sebenarnya simpangannya sangat besar. Dalam banyak kasus, curah hujan terukur pada bulan tertentu bisa mencapai 3 kali lipat curah hujan historisnya. Hal ini terjadi karena sebenarnya di daerah tropis seperti Indonesia ada faktor lain selain musim yaitu osilasi Madden Julian (MJO: Madden Julian oscillation). MJO adalah sebuah osilasi yang berperiode 40-50 hari, yang dalam beberapa kasus bisa melebar menjadi 30-60 hari (Madden and Julian, 1994). Gugus awan konveksi diproduksi di atas Samudera Hindia (sebelah barat Indonesia) kemudian bergerak ke arah timur di sepanjang ekuator untuk menempuh satu siklus putar dengan periode 40-50 hari (Matthews, 2000).
Dalam perjalanannya ke arah timur, MJO dipengaruhi oleh posisi matahari relatif terhadap garis ekuator. Secara umum dapat dikatakan bahwa ketika matahari berada di atas ekuator MJO bergerak lurus ke arah timur. Ketika matahari berada di sebelah selatan garis ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah selatan ekuator, sehingga dikenal sebagai penjalaran selatan-timur (south-eastern propagation). Demikian juga ketika matahari berada di sebelah utara ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah utara ekuator, sehingga dikenal sebagai penjalaran utara-timur (north-eastern propagation) (Wang and Rui, 1990). Dalam kenyataannya, penjalaran ke arah timur ini sangat dipengaruhi oleh topografi Indonesia sebagai benua maritim (Seto et al., 2004).
Periode MJO yang jauh lebih pendek daripada periode musim mengakibatkan adanya variabilitas di dalam musim hujan maupun musim kemarau. Ini bisa berakibat sangat keringnya hari-hari di musim kemarau dan atau kemungkinan terjadinya hujan pada musim kemarau di suatu wilayah. Begitu juga MJO bisa berinterferensi dengan musim hujan sehingga dapat mengakibatkan banjir yang dahsyat ataupun mengakibatkan berkurangnya hujan pada hari-hari di musim hujan. MJO disebut juga sebagai variasi intra musim (ISV: intra-seasonal variation). Sampai saat ini MJO dipercaya sebagai mode paling dominan di daerah tropis.

MUSIM HUJAN DI INDONESIA -istilah yg sudah harus ditinggalkan-


Lebih detail bisa dibaca di:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/12/ilpeng/1318231.htm


Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang bukan saja luas tetapi juga berada di (dilewati) garis ekuator. Ini membawa dampak yang besar bagi variablitas iklim dan cuaca. Salah satu aspeknya adalah penentuan musim hujan atau musim kemarau. Selama ini kita selalu berpatokan bahwa musim hujan adalah ketika matahari ada di belahan bumi selatan (Oktober – April) sedangkan musim kemarau adalah ketika matahari ada di sebelah utara ekuator (April – Oktober). Bahkan seorang ahli dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mengataka bahwa pada bulan Desember seluruh daerah di Indonesia sudah memasuki musim penghujan (KCM, 2 Oktober 2004 18:51 WIB).
Apakah benar bahwa musim hujan di Indonesia itu bisa digeneralisasi begitu saja? Sebelum menjawab ini penulis ingin sedikit mengulas fenomena sosial yang berkaitan dengan hal ini. Sebagai negara yang sangat besar, selama ini Indonesia banyak berkonsentrasi ke pulau Jawa. Ketika anak kecil disuruh menggambar pemandangan desa maka hampir pasti yang digambar adalah gunung, jalan, sungai, sawah, dan lain-lain yang menggambarkan suasana desa-desa di daerah subur yang kebanyakan berada di pulau Jawa. Padahal sangat banyak desa-desa tandus yang ada di luar Jawa tidak memiliki sawah dan sungai. Di era otonomi daerah saat ini, sudah waktunya kita tidak lagi mengkonotasikan Indonesia sebagai Jawa saja.
Lalu apa hubungannya dengan generalisasi musim hujan? Dalam meteorologi, ketika matahari ada di sebelah selatan ekuator, maka wilayah di belahan bumi selatan akan bertekanan rendah. Tekanan yang rendah menyebabkan masuknya masa udara yang merupakan sumber konveksi. Maka pada saat itu bisa dikatakan musim hujan. Jelaslah bahwa musim hujan selama Oktober – April itu pada awalnya adalah musim hujan di pulau Jawa. Bagi beberapa wilayah yang berada di sebelah selatan ekuator, memang ketentuan umum ini masih bisa berlaku. Tetapi tidak untuk daerah-daerah lain yang berada di sekitar ekuator atau bahkan di sebelah utara ekuator. Berita banjir di Bandung, Jakarta, Padang, dan beberapa daerah lain pada tanggal 20-an April 2004 yang lalu mungkin saja bisa dengan mudah dimaklumi. Selain kita tahu bahwa tata guna lahan kita yang tidak baik, peristiwa banjir itu terjadi masih pada musim hujan (Jawa). Tetapi berita banjir di Banjarmasin pada saat musim panas (Kompas, 26 Juli 2004) barangkali menjadi pertanyaan yang cukup menggelitik di benak sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun mestinya tidak demikian bagi para peneliti tentang hujan.

Pembagian wilayah Iklim

Secara mendasar, ditinjau dari perubahan posisi matahari terhadap ekuator (walaupun sebenarnya yang bergerak adalah bumi kita) musim hujan dan musim kemarau di Indonesia bisa dibagi ke dalam 3 wilayah, yaitu Indonesia bagian selatan, tengah (sekitar ekuator), dan bagian utara. Seperti disinggung sebelumnya bahwa musim hujan terjadi pada saat (sekali lagi secara umum) matahari berada pada titik terdekat di atas sebuah wilayah.
Pembagian wilayah iklim di Indonesia pernah dilakukan, dan menghasilkan beberapa wilayah iklim yang berbeda (Murakami, 1994). Berdasarkan data bulanan tahun 1961 s.d. 1993, Aldrian and Susanto (2003) juga melakukan pembagian wilayah iklim Indonesia menjadi 3 bagian. Wilayah A meliputi Indonesia bagian selatan dari Sumatera selatan hingga pulau Timor, Kalimanatan, Sulawesi, dan sebagian Irian Jaya. Wilayah B meliputi Indonesia bagian barat laut dari Sumatera utara sampai Kalimantan bagian tenggara. Wilayah C meliputi Maluku dan Sulawesi utara. Setiap wilayah mempunyai rentang musim hujan dan kemarau yang berbeda-beda. Wilayah A misalnya, seperti yang selama ini diketahui khalayak, mempunyai puncak musim hujan bulan Januari (yang kita kenal dengan “hujan sehari-hari”) dan puncak musim kemarau bulan Agustus. Wilayah B mempunyai dua puncak musim hujan yaitu bulan April dan November, dan puncak musim kemarau Februari dan Juli. Sedangkan wilayah C mempunyai puncak musim hujan bulan Juni-Juli dan puncak musim kemarau November atau Februari.
Jelas sekali bahwa wilayah A yang kebanyakan berada di di Indonesia bagian selatan berkebalikan dengan dengan wilayah C yang meliputi Maluku dan Sulawesi utara. Betapa sedihnya jika warga di wilayah C harus mengatakan bahwa musim hujan di Indonesia adalah bulan Oktober – April, sementara justru mereka sedang mengalami kekeringan. Kita menyadari bahwa jumlah penduduk di wilayah B dan C masih lebih sedikit daripada di wilayah A. Akan tetapi kita tidak bisa menggeneralisasi begitu saja karena bagaimanapun juga akan sangat berbahaya jika kita mengambil kebijakan yang salah akibat kesalahan informasi.
Secara teoritis, tanpa memandang sifat fisik (misalnya topografi, geografi, dll) wilayah yang ada di Indonesia, maka apa yang dihasilkan oleh Aldrian and Susanto di atas mewakili wilayah Indonesia, yaitu wilayah iklim A untuk Indonesia bagian selatan, B untuk bagiang tengah, dan C untuk bagian utara. Dari sini saja kita sudah tidak bisa lagi menjawab pertanyaan kapan musim hujan di Indonesia. Bahkan sudah semestinya tidak ada lagi pertanyaan kapan musim hujan di Indonesia.


Penutup

Luasnya wilayah Indonesia memang harus dibarengi dengan pemahaman kebhinekaan yang baik. Kebhinekaan yang tidak hanya pada aspek sosial dan budaya tetapi juga aspek ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pemahaman yang baik akan iptek diharapkan akan dapat mempengaruhi psikologi sosial masyarakat dan pengambil keputusan. Sudah bukan saatnya lagi kita berbicara “musim hujan di Indonesia” karena frase itu mengandung banyak sekali kekeliruan ilmiah yang bisa berakibat fatal bagi kita. Fatal karena bisa mengabaikan harkat dan martabat jutaan manusia. Fatal karena mengabaikan jutaan hektar alam beserta flora dan fauna yang merupakan titipan anak cucu kita.